Tari Tradisional Jawa Barat
Jawa Barat Merupakan Salan Satu Propinsi di Indonesia wilayah padat penduduk, kepadatan penduduk ini disebabkan wilayah Jawa Barat ini memiliki letak geografis yang strategis, tidak jauh dengan Ibu Kota, memilki Fasilitas dan Pusat pendidikan, Pusat perdagangan dan memiliki kekayaan alam yang melimpah, sehingga banyak penduduk luar berbondong dating ke Jawa Barat, selain hanya untuk sekedar menimba ilmu, berbelanja dan berliburan, namun diantara merekapun ada yang sengaja mengadu nasib untuk tinggal dan menetap di daerah Jawa Barat. Masyaratak Jawa Barat terkenal dengan masyarakat yang ramah, sopan dan santun serta memiliki kreativitas yang tinggi. Salah satu bukti kreativitas yang dibangun oleh masyarakat Jawa Barat adalah terciptanya tarian-tarian tradisional asal Jawa Barat. Berikut beberapa tarian Tradisional Jawa Barat :
Jawa Barat Merupakan Salan Satu Propinsi di Indonesia wilayah padat penduduk, kepadatan penduduk ini disebabkan wilayah Jawa Barat ini memiliki letak geografis yang strategis, tidak jauh dengan Ibu Kota, memilki Fasilitas dan Pusat pendidikan, Pusat perdagangan dan memiliki kekayaan alam yang melimpah, sehingga banyak penduduk luar berbondong dating ke Jawa Barat, selain hanya untuk sekedar menimba ilmu, berbelanja dan berliburan, namun diantara merekapun ada yang sengaja mengadu nasib untuk tinggal dan menetap di daerah Jawa Barat. Masyaratak Jawa Barat terkenal dengan masyarakat yang ramah, sopan dan santun serta memiliki kreativitas yang tinggi. Salah satu bukti kreativitas yang dibangun oleh masyarakat Jawa Barat adalah terciptanya tarian-tarian tradisional asal Jawa Barat. Berikut beberapa tarian Tradisional Jawa Barat :
1. Tari Jaipongan
 
          Tari Jaipong adalah seni tari yang lahir dari kreativitas seorang 
seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Beliau terinspirasi pada kesenian 
rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan
 mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada
 Kliningan atau Bajidoran atau Ketuk Tilu. Sehingga ia dapat 
mengembangkan tarian atau kesenian yang kini di kenal dengan nama 
Jaipongan.
Sejarah Tari Jaipong : Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari “Daun Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong”
 yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra 
dan putri). Awal kemunculan tarian tersebut semula dianggap sebagai 
gerakan yang erotis dan vulgar, namun semakin lama tari ini semakin 
popular dan mulai meningkat frekuensi pertunjukkannya baik di media 
televisi, hajatan, maupun perayaan-perayaan yang disenggelarakan oleh 
pemerintah atau oleh pihak swasta. 
2. Tari Ketuk Tilu
 
             Tarian ketuk tilu dalam sejarahnya 
adalah kesenian yang berfungsi sebagai upacara untuk menyambut panen 
padi yang merupakan ungkapan rasa syukur terhadap Dewi Sri (dewi padi) 
dengan melakukan upacara pada malam hari dengan mengarak seorang gadis 
sebagai lambang dewi sri yang diiringi bunyi-bunyian dan arak-arak yang 
akan berhenti pada suatu tempat yang biasanya di lapangn / tempat yang 
luas dan gadis yang sudah di arak akan duduk di bambu dekat oncor (lampu
 minyak tanah).
Nama ketuk tilu diambil dari alat musik 
pengiringnya yaitu 3 buah ketuk (bonang) sebagai pemberi irama rebab, 
kendang indung (besar) dan kulanter (kecil) yang berfungsi untuk 
mengatur tari / kendang yang didampingi kecrek sebagai pengiring irama 
dan gong pemberi batas-batas kalimat pada lagu. Dalam pertunjukkan 
tarian ketuk tilu dilakukan oleh wanita dan pria yang berpasangan dan 
penari wanita disebut sebagai ronggeng.
Ketuk tilu juga merupakan perkembangan 
dari skanisme yang pada saat itu masyarakat banyak menganut paham 
animisme dan dinamisme. Sebelum menari, laki-laki dan wanita bersama 
biasanya mengawalinya dengan ibing tunggal / ibing jago yang terdiri 
dari 3 lagu Cikeruhan, Cijagran, dan mamang. Sedangkan untuk bagian pada
 gerakan ketuk tilu diantaranya goyang, pencak, muncid, gitek dan geol. 
Untuk kostum yang dipakai untuk wanita adalah menggunakan kebaya, 
sinanjang sabuk dan aksesoris seperti gelang dan kalung, sedangkan untuk
 pria biasanya menggunakan baju kampret, celana pangsi, ikat kepala, 
sabuk kulit, golok sebagai lambang kejantanan dan memakai gelang bahar 
serta baju berwarna gelap.
Mungkin untuk masyarakat saat ini kurang
 mengetahui mengenai sejarah seni tari Ketuk Tilu, karena sudah banyak 
tarian yang lebih modern dan banyak dikenal masyarakat luas. Namun untuk
 wilayah pedesaan masih banyak yang melestarikan tarian ini.
3. Tari Digenjring Bonyok
Pengertian Genjring Bonyok asal mula dari Genjring dan Bonyok. Genjring adalah waditra berkulit yang memakai semacam anting-anting terbuat dari besi atau perunggu sebagai penghias seperti rebana. Sedangkan Bonyok adalah nama daerah di desa Pangsor Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang. Genjring bonyok artinya kesenian Genjring yang awal mulanya berada di daerah Bonyok. Kesenian merupakan salahsatu jenis seni musik tradisional (karawitan) yang alat musiknya terdiri dari Genjring, Bedug, Kecrek, Tarompet dan Goong.
Pertumbuhan dan perkembangan kesenian ini tidak lepas dari keadaan lingkungan masyarakat penduduknya. Maksudnya semakin meningkat kehidupan masyarakat, pengalaman estetis masyarakat dan semakin banyak munculnya pemahaman-pemahaman baru tentang Genjring Bonyok akan berpengaruh besar terhadap eksistensi kesenian tersebut. Jauh sebelum Genjring bonyok lahir, di kampung Bunut Desa Pangsor Kecamatan pagaden telah ada kesenian genjring yang dipimpin oleh Sajen. Kesenian merupakan cikal bakal lahirnya Genjring Bonyok.
Keberadaan Genjring Bonyok erat hubungannya dengan perjalanan hidup Sutarja yang telah bermain dengan Genjring sejak tahun 1963. Waktu itu ia bermain genjring bersama rombongan Genjring yang dipimpin oleh Sajen (pamannya). Dalam rombongan tersebut ia memegang genjring nomor 1 yang merupakan komando bagi alat musik lainnya. Karena Sajen sudah tidak sanggup lagi untuk memimpin rombongan kesenian tersebut, maka sejak tahun 1965 kepemimpinan rombongan kesenian tersebut diserahkan kepada Sutarja.
Sutarja dan kawan-kawan sering mengadakan pertunjukan di Pusaka Nagara dan pamanukan. Di daerah tersebut Sutarja sering melihat pertunjukan Adem ayem yang perangkat musiknya sama dengan kesenian genjring yang dipimpin oleh Sutarja yaitu tiga buah genjring dan sebuah bedug. Perbedannya musik adem Ayem yang lebih dinamis dan komunikatif dengan menyajikan lagu-lagu untuk mengiringi tarian dan atraksi akrobatik, sedangkan pertunjukan kesenian yang dipimpin oleh Sutarja waktu itu hanya menyajikan lagu-lagu seperti Siuh, Gederan dan Gotrok.
Terinspirasi oleh musik adem ayem tersebut muncul keinginan Sutarja untuk mengembangkan seni genjring yang dipimpinnya. Disusunlah motif-motif tabuh genjring yang mirip dengan genjring adem ayem. Demikian juga lagu-lagu yang disajikannya dipakai lagu-lagu Adem ayem dan tarompet sebagai pembawa melodi dan goong sebagai pengantar wiletan. Sekitar tahun 1968, terbentuklah kesenian genjring Baru dengan garapan musikalnya berbeda dengan genjring sebelumnya. Menurut keterangan beberapa narasumber, pada awalnya masyarakat Pagaden menyebut kesenian ini genjring Bonyok. Disebut demikian karena dalam pementasan penarinya selalu banyak dan dalam menarinya ngaronyok (berkumpul). Dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menyebut kesenian Genjring Bonyok karena menganggap kesenian tersebut lahir di daerah Bonyok. Baru-baru ini muncul sebutan yang lain yaitu Tardug. Tardug merupakan akronim dari Gitar dan beduh. Kesenian tardug sebenarnya genjring bonyok juga, hanya alat musiknya ditambah gitar melodi untuk mengiringi lagu dangdutan.
Di awal perkembangannya Genjring Bonyok menggunakan alat musik yang relatif sederhana yaitu tiga buah genjring, tarompet dan bedug. Ketiga genjring tersebut memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Perbedaannya hanya tinggi rendahnya bunyi genjring tersebut.
Bunyi yang dihasilkan genjring biasanya bunyi pong, pang, ping dan bunyi pak bum. Untuk menghasilkan bunyi pong dengan cara menepak bagian pinggir genjring menggunakan beberapa ujung jari tangan dan menepuknya dilepas. Bunyi pang dihasilkan dengan cara menepuk bagian pinggir genjring (lebih ketengah sedikit dari cara membunyikan pong) menggunakan sebagian telapak tangan dan menepuknya dilepas. Bunyi ping dihasilkan dengan cara menepuk bibir genjring menggunakan beberapa ujung jari tangan menepuknya dirapatkan. Bunyi pak dihasilkan dengan cara menepuk bagian pinggir atau tengah genjring menggunakan telapak tangan penuh, menepuknya agak ditekan.
Materi lagu yang disajikan dalam pertunjukan genjring bonyok tidak terbatas pada lagu-lagu ketuk tilu, adem ayem atau lagu-lagu yang berirama japlin saja tetapi juga disajikan lagu-lagu dangdut seperti lagu-lagu Lanang Sejati, Rindu berat, Neng Yeni, Pemuda Idaman, tembok Derita dan lain-lain. Selain itu sering disajikan pula lagu-lagu jaipongan. Lagu-lagu tersebut disajikan dalam bentuk paduan antara karawitan, vokal dan karawitan instrumentalia. Dalam bentuk penyajiannya, kesenian ini tidak hanya dipertunjukan dalam bentuk helaran (arak-arakan) tetapi dipertunjukkan juga diatas panggung. Pertunjukan diatas panggung biasanya dilaksanakan pada acara hiburan, baik hiburan hajatan, peringatan hari-hari besar, maupun hiburan di tempat-tempat wisata. Pertunjukan gelaran biasanya pada acara mengarak anak sunat keliling kampung bersama-sama dengan kesenian sisingaan.
Pengertian Genjring Bonyok asal mula dari Genjring dan Bonyok. Genjring adalah waditra berkulit yang memakai semacam anting-anting terbuat dari besi atau perunggu sebagai penghias seperti rebana. Sedangkan Bonyok adalah nama daerah di desa Pangsor Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang. Genjring bonyok artinya kesenian Genjring yang awal mulanya berada di daerah Bonyok. Kesenian merupakan salahsatu jenis seni musik tradisional (karawitan) yang alat musiknya terdiri dari Genjring, Bedug, Kecrek, Tarompet dan Goong.
Pertumbuhan dan perkembangan kesenian ini tidak lepas dari keadaan lingkungan masyarakat penduduknya. Maksudnya semakin meningkat kehidupan masyarakat, pengalaman estetis masyarakat dan semakin banyak munculnya pemahaman-pemahaman baru tentang Genjring Bonyok akan berpengaruh besar terhadap eksistensi kesenian tersebut. Jauh sebelum Genjring bonyok lahir, di kampung Bunut Desa Pangsor Kecamatan pagaden telah ada kesenian genjring yang dipimpin oleh Sajen. Kesenian merupakan cikal bakal lahirnya Genjring Bonyok.
Keberadaan Genjring Bonyok erat hubungannya dengan perjalanan hidup Sutarja yang telah bermain dengan Genjring sejak tahun 1963. Waktu itu ia bermain genjring bersama rombongan Genjring yang dipimpin oleh Sajen (pamannya). Dalam rombongan tersebut ia memegang genjring nomor 1 yang merupakan komando bagi alat musik lainnya. Karena Sajen sudah tidak sanggup lagi untuk memimpin rombongan kesenian tersebut, maka sejak tahun 1965 kepemimpinan rombongan kesenian tersebut diserahkan kepada Sutarja.
Sutarja dan kawan-kawan sering mengadakan pertunjukan di Pusaka Nagara dan pamanukan. Di daerah tersebut Sutarja sering melihat pertunjukan Adem ayem yang perangkat musiknya sama dengan kesenian genjring yang dipimpin oleh Sutarja yaitu tiga buah genjring dan sebuah bedug. Perbedannya musik adem Ayem yang lebih dinamis dan komunikatif dengan menyajikan lagu-lagu untuk mengiringi tarian dan atraksi akrobatik, sedangkan pertunjukan kesenian yang dipimpin oleh Sutarja waktu itu hanya menyajikan lagu-lagu seperti Siuh, Gederan dan Gotrok.
Terinspirasi oleh musik adem ayem tersebut muncul keinginan Sutarja untuk mengembangkan seni genjring yang dipimpinnya. Disusunlah motif-motif tabuh genjring yang mirip dengan genjring adem ayem. Demikian juga lagu-lagu yang disajikannya dipakai lagu-lagu Adem ayem dan tarompet sebagai pembawa melodi dan goong sebagai pengantar wiletan. Sekitar tahun 1968, terbentuklah kesenian genjring Baru dengan garapan musikalnya berbeda dengan genjring sebelumnya. Menurut keterangan beberapa narasumber, pada awalnya masyarakat Pagaden menyebut kesenian ini genjring Bonyok. Disebut demikian karena dalam pementasan penarinya selalu banyak dan dalam menarinya ngaronyok (berkumpul). Dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menyebut kesenian Genjring Bonyok karena menganggap kesenian tersebut lahir di daerah Bonyok. Baru-baru ini muncul sebutan yang lain yaitu Tardug. Tardug merupakan akronim dari Gitar dan beduh. Kesenian tardug sebenarnya genjring bonyok juga, hanya alat musiknya ditambah gitar melodi untuk mengiringi lagu dangdutan.
Di awal perkembangannya Genjring Bonyok menggunakan alat musik yang relatif sederhana yaitu tiga buah genjring, tarompet dan bedug. Ketiga genjring tersebut memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Perbedaannya hanya tinggi rendahnya bunyi genjring tersebut.
Bunyi yang dihasilkan genjring biasanya bunyi pong, pang, ping dan bunyi pak bum. Untuk menghasilkan bunyi pong dengan cara menepak bagian pinggir genjring menggunakan beberapa ujung jari tangan dan menepuknya dilepas. Bunyi pang dihasilkan dengan cara menepuk bagian pinggir genjring (lebih ketengah sedikit dari cara membunyikan pong) menggunakan sebagian telapak tangan dan menepuknya dilepas. Bunyi ping dihasilkan dengan cara menepuk bibir genjring menggunakan beberapa ujung jari tangan menepuknya dirapatkan. Bunyi pak dihasilkan dengan cara menepuk bagian pinggir atau tengah genjring menggunakan telapak tangan penuh, menepuknya agak ditekan.
Materi lagu yang disajikan dalam pertunjukan genjring bonyok tidak terbatas pada lagu-lagu ketuk tilu, adem ayem atau lagu-lagu yang berirama japlin saja tetapi juga disajikan lagu-lagu dangdut seperti lagu-lagu Lanang Sejati, Rindu berat, Neng Yeni, Pemuda Idaman, tembok Derita dan lain-lain. Selain itu sering disajikan pula lagu-lagu jaipongan. Lagu-lagu tersebut disajikan dalam bentuk paduan antara karawitan, vokal dan karawitan instrumentalia. Dalam bentuk penyajiannya, kesenian ini tidak hanya dipertunjukan dalam bentuk helaran (arak-arakan) tetapi dipertunjukkan juga diatas panggung. Pertunjukan diatas panggung biasanya dilaksanakan pada acara hiburan, baik hiburan hajatan, peringatan hari-hari besar, maupun hiburan di tempat-tempat wisata. Pertunjukan gelaran biasanya pada acara mengarak anak sunat keliling kampung bersama-sama dengan kesenian sisingaan.
4. Tari Siputri Sintren 
adalah pertunjukan dimana sang penari menari dengan di masuki oleh arwah dan pingsan bila terkena uang yang di lemparkan ke tubuh penari tersebut. Dengan iringan gamelan dan pakaian yang indah juga biasanya di lengkapi aksesoris modern seperti kacamata dan dasi, tarian sintren menjadi sangat eksotis dan misterius. Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon , Majalengka, Jatibarang, Berebes, Pemalang, Banyumas, Kabupaten Kuningan, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais.
Pertunjukkan Sintren 
Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang 
dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren 
sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan
 bodor (lawak).Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar 
berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) 
sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan 
Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren 
akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan 
mempesona.
adalah pertunjukan dimana sang penari menari dengan di masuki oleh arwah dan pingsan bila terkena uang yang di lemparkan ke tubuh penari tersebut. Dengan iringan gamelan dan pakaian yang indah juga biasanya di lengkapi aksesoris modern seperti kacamata dan dasi, tarian sintren menjadi sangat eksotis dan misterius. Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon , Majalengka, Jatibarang, Berebes, Pemalang, Banyumas, Kabupaten Kuningan, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais.
     Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis 
yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono
Sejarah sintren sebenarnya ada beberapa versi, namun kali ini kita akan 
membahan salah satu nya saja, dahulu kala ada sepasang kekasih yaitu R 
sulandono dan sulasih, mereka tidak mendapatkan restu dari orang tua R 
sulandono yang pada watu itu merupakan bupati mataram. Untuk dapat 
bersatu sulandono bertapa dan di berikan seulas apu tangan, sedangkan 
sulasih harus menjadi penari di upacara pada bulan purnama. Ketika 
sulasih sedang menari R sulandono turun dari pertapaan nya dan melempar 
sulasih yang sedang menari, kemudian sulasih pun pingsan dan dimasuki 
roh spirit, pada saat itulah jasad sulasih di bawa kabur, lalu mereka 
bisa melanjutkan hubungan nya. 
      Nah kenapa di namai sintren, karena sintren di bangun oleh 2 kata 
yaitu si dan tren, “si” atau “ia” dan tren atau tri yang berarti 
“putri”, jadi arti dari sintren adalah “ia putri”, maksud nya yang 
sebenarnya menari bukan lah si penari sintren, namun roh seorang putri, 
yaitu sulasih, atau biasa di sebut Rr. Ratnamsari. Menarik bukan, apakah
 anda ingin menyaksikan ? 
